Minggu, 27 November 2016

Kesempatan


“Kenapa Pak? Saya baru kerja 5 bulan disini,” Dina berkata sambil menatap atasannya dengan sorot mata tidak percaya. Pindah? Batin Dina meronta tidak terima, mencari kemungkinan bahwa yang didengarnya adalah salah.





“Pak Bupati ingin kamu ditarik ke perpustakaan,” Pak Agus menatap tepat kearah mata Dina, dia menangkap gurat kesedihan terukir disana.

“Maaf pak, tapi ... apa tidak bisa diubah saja?” Mohonnya dengan wajah memelas.

“Maaf Dina, bapak tidak ada hak untuk mengubah keputusan itu,”

Dina tersenyum getir dan mengangguk sopan sebelum akhirnya ia melangkah keluar dari ruangan itu. Ia kembali ke tempatnya dan menatap komputer didepannya dengan pandangan kosong.

“Hei Din! Kenapa?” Heni, salah satu rekan kerjanya, menepuk bahunya pelan. Dina tersenyum tipis sebelum akhirnya kalimat itu meluncur dari mulutnya.

“Aku akan pindah Hen.”

“PINDAH? Kamu serius? Pindah kemana?” mata wanita muda itu terbelalak kaget.

“Iya,” Dina mengangguk pelan disertai dengan senyum kecewa yang menghiasi wajah manisnya. Heni menatap wajah sendu Dina, ia mendekap wanita itu kedalam sebuah pelukan, menghantar kehangatan yang menembus kulit Dina,”Aku akan pindah ke Perpustakaan.”

“Tidak apa-apa, pasti ada hal yang baik disana. Yakinlah,” Heni mengelus punggung kecil itu dengan lembut.

“Terimakasih.”

Dan disinilah ia, terperangkap di tempat yang selalu dihindarinya selama ini. Dina berkali-kali mendesah kecewa, kenapa ia harus terjebak di tempat kumuh ini, tempat ini kotor dan juga sepi.

Ia melangkahkan kakinya, keluar dari ruangan staff untuk mencari udara. Ia melihat segerombolan anak kecil dengan baju lusuh, 2 orang diantara mereka duduk dilantai dengan wajah berpeluh. Dina merendahkan badannya, menatap anak-anak itu dengan senyum lembut yang tak disadarinya.

“Ah, kalian sedang apa?”

“Maaf kak,” gadis kecil dengan rambut sebahu mengangguk sopan,mungkin dia adalah kakak dari anak-anak itu. Ia terlihat malu karena tertangkap basah oleh Dina.

“Ehm.. Kak, buku cerita yang ada gambar-gambarnya itu dimana?” tanya anak perempuan yang lainnya dengan wajah polos, membuat senyum Dina menghilang dan memunculkan kerutan di dahinya. Ia tidak yakin akan tempatnya dan lagipula ini baru seminggu semenjak ia bekerja diperpustakaan.

“Tidak tahu. Coba lihat di rak-rak sana,” Dina menunjuk salah satu deretan  rak terdekat.

Anak-anak itu dengan cepat berlari kearah rak-rak tersebut, Dina tidak yakin mereka akan menemukannya hingga akhirnya ia melihat Meri, salah satu petugas wanita yang sedang berjaga di meja sirkulasi. Tengah sibuk memainkan sebuah ponsel.

“Mer, buku dongeng dimana?” ia menghampiri Meri dengan harapan wanita itu akan membantunya, membantuk anak-anak itu lebih tapatnya.

“Tidak tahu,” Meri mengendikkan bahunya santai, dia terlihat tidak peduli. Bahkan tak mengalihkan pandangannya dari ponsel yang ada didepannya.

“Ayolah, kau bekerja disini 2 tahun dan kau tidak tahu?” mata Dina sesekali melirik kearah anak-anak yang sedang sibuk mencari buku yang dimaksud. Sesekali ia  tersenyum kecil melihat anak-anak itu berusaha melihat ke arah rak yang lebih tinggi, hingga akhirnya suara Meri mengalihkan pandangannya.

“Di satu rak itu bisa tercampur berbagai macam buku, kau tidak tahu itu?”

“Kenapa tidak di buat berkelompok saja?” Dina bertanya bingung.

“Bagaimana? Dengan tempat sekecil ini? ayolah Din,” Meri menghela nafasnya pelan.

“Renovasi saja,”

Meri menatap Dina tajam, “dana dari mana? Pak Fredi bahkan tidak pernah peduli akan hal itu, kau lihat koleksi buku yang dari tahun ketahun begitu saja? Dia bahkan tidak peduli dan kau berharap ia akan merenovasi tempat ini? lucu sekali Din,” Meri menampilkan senyum sinisnya. Dina pergi meninggalkan Meri untuk menghampiri gerombolan anak-anak itu dan membantu mereka mencari buku yang dimaksud.

Matanya menangkap beberapa buku cerita yang berada di rak yang paling tinggi, dengan cepat digapainya buku itu dan diserahkannya pada anak-anak itu. Hati Dina berdesir melihat senyum bahagia yang tercipta di depannya.

Dengan langkah kaki ringan, ia berjalan menuju motor pribadinya. Ia mantap dengan keputusannya, dikendarainya motor putih itu membelah jalan raya yang padat.

Tidak sampai 30 menit, ia tiba disebuah gedung putih yang terlihat ramai oleh orang-orang berpakaian dinas. Ia berjalan menuju meja resepsionis dan menyampaikan maksud kedatangannya, namun hal itu diurungkannya begitu melihat pria dengan wajah berwibawa melangkah melewatinya.

“Permisi Pak?” Dina berjalan cepat dan tersenyum sopan. Pria itu menatap Dina bingung, beberapa pria dengan badan besar dan berotot siap membawa Dina menjauh.

“Iya, ada apa?” Pria itu memberi isyarat pada para ajudannya untuk membiarkan Dina berbicara. Dina membuka mulutnya dengan lirikan takut pada pria-pria besar yang ada disamping kanannya.

“Saya dari Perpustakaan, ada hal yang ingin bicarakan dengan bapak. Hal ini terkait masa depan warga kita juga pak,” Dina menatap pria itu dengan pandangan memohon.

“Baiklah ikut saya keruangan,” Dina tersenyum senang. Ia melangkah mengikuti pria yang sudah berumur itu melewati lorong-lorong putih, Dina memandang sekelilingnya takjub. Ia dipersilahkan masuk kesebuah ruangan yang besar, pria itu mempersilahkannya duduk di kursi yang ada.

Dengan lancar, Dina menyampaikan maksud dan tujuannya. Hal itu disambut dengan antusias oleh pria didepannya.

“Baiklah, saya setuju. Tapi saya punya satu syarat,”

“Apa itu Pak Hari?” Dina menatap cemas. Ia takut Pak Hari meminta hal berat padanya, seperti menjadi tukang sapu jalanan selama jabatannya sebagai Bupati berlangsung.

“Jadilah kepala kantor di perpustakaan,” Pak Hari tersenyum, tidak menghiraukan tatapan terkejut Dina.

“Sungguh Pak?”

“Bagaimana? Setuju? Kalau kamu setuju, saya akan mendukung usahamu memajukkan perpustakaan kita,”

“Baik Pak. Baik,” Dina mengangguk dengan senyum yang merekah.

Biarlah dirinya tidak menyukai perpustakaan dan buku, tapi hal itu jangan menjadi penghalang orang lain yang ingin menuntut ilmu. Dina tersenyum bangga, benar kata Heni, hal baik selalu datang ditempat yang tidak kita duga, ia ingin anak-anak serta orang lain yang kurang beruntung diberi kesempatan untuk membaca buku dengan gratis.


Ini kesempatannya untuk menjadi orang yang berguna, kesempatan yang mungkin tidak didapatnya jika ia tidak dipindahkan.

(a Story by SALSA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar