“Kenapa Pak?
Saya baru kerja 5 bulan disini,” Dina berkata sambil menatap atasannya dengan
sorot mata tidak percaya. Pindah? Batin Dina meronta tidak terima, mencari
kemungkinan bahwa yang didengarnya adalah salah.
“Pak Bupati ingin kamu ditarik ke
perpustakaan,” Pak Agus menatap tepat kearah mata Dina, dia menangkap gurat
kesedihan terukir disana.
“Maaf pak, tapi ... apa tidak bisa diubah saja?” Mohonnya
dengan wajah memelas.
“Maaf Dina, bapak tidak ada hak untuk mengubah
keputusan itu,”
Dina tersenyum getir dan mengangguk sopan sebelum
akhirnya ia melangkah keluar dari ruangan itu. Ia kembali ke tempatnya dan
menatap komputer didepannya dengan pandangan kosong.
“Hei Din! Kenapa?” Heni, salah satu rekan kerjanya,
menepuk bahunya pelan. Dina tersenyum tipis sebelum akhirnya kalimat itu
meluncur dari mulutnya.
“Aku akan pindah Hen.”
“PINDAH? Kamu serius? Pindah kemana?” mata wanita
muda itu terbelalak kaget.
“Iya,” Dina mengangguk pelan disertai dengan senyum
kecewa yang menghiasi wajah manisnya. Heni menatap wajah sendu Dina, ia
mendekap wanita itu kedalam sebuah pelukan, menghantar kehangatan yang menembus
kulit Dina,”Aku akan pindah ke Perpustakaan.”
“Tidak apa-apa, pasti ada hal yang baik disana.
Yakinlah,” Heni mengelus punggung kecil itu dengan lembut.
“Terimakasih.”
Dan disinilah ia, terperangkap di tempat yang selalu
dihindarinya selama ini. Dina berkali-kali mendesah kecewa, kenapa ia harus
terjebak di tempat kumuh ini, tempat ini kotor dan juga sepi.
Ia melangkahkan kakinya, keluar dari ruangan staff
untuk mencari udara. Ia melihat segerombolan anak kecil dengan baju lusuh, 2
orang diantara mereka duduk dilantai dengan wajah berpeluh. Dina merendahkan
badannya, menatap anak-anak itu dengan senyum lembut yang tak disadarinya.
“Ah, kalian sedang apa?”
“Maaf kak,” gadis kecil dengan rambut sebahu
mengangguk sopan,mungkin dia adalah kakak dari anak-anak itu. Ia terlihat malu
karena tertangkap basah oleh Dina.
“Ehm.. Kak, buku cerita yang ada gambar-gambarnya
itu dimana?” tanya anak perempuan yang lainnya dengan wajah polos, membuat
senyum Dina menghilang dan memunculkan kerutan di dahinya. Ia tidak yakin akan
tempatnya dan lagipula ini baru seminggu semenjak ia bekerja diperpustakaan.
“Tidak tahu. Coba lihat di rak-rak sana,” Dina
menunjuk salah satu deretan rak
terdekat.
Anak-anak itu dengan cepat berlari kearah rak-rak
tersebut, Dina tidak yakin mereka akan menemukannya hingga akhirnya ia melihat
Meri, salah satu petugas wanita yang sedang berjaga di meja sirkulasi. Tengah sibuk
memainkan sebuah ponsel.
“Mer, buku dongeng dimana?” ia menghampiri Meri
dengan harapan wanita itu akan membantunya, membantuk anak-anak itu lebih
tapatnya.
“Tidak tahu,” Meri mengendikkan bahunya santai, dia
terlihat tidak peduli. Bahkan tak mengalihkan pandangannya dari ponsel yang ada
didepannya.
“Ayolah, kau bekerja disini 2 tahun dan kau tidak
tahu?” mata Dina sesekali melirik kearah anak-anak yang sedang sibuk mencari
buku yang dimaksud. Sesekali ia
tersenyum kecil melihat anak-anak itu berusaha melihat ke arah rak yang
lebih tinggi, hingga akhirnya suara Meri mengalihkan pandangannya.
“Di satu rak itu bisa tercampur berbagai macam buku,
kau tidak tahu itu?”
“Kenapa tidak di buat berkelompok saja?” Dina
bertanya bingung.
“Bagaimana? Dengan tempat sekecil ini? ayolah Din,”
Meri menghela nafasnya pelan.
“Renovasi saja,”
Meri menatap Dina tajam, “dana dari mana? Pak Fredi
bahkan tidak pernah peduli akan hal itu, kau lihat koleksi buku yang dari tahun
ketahun begitu saja? Dia bahkan tidak peduli dan kau berharap ia akan
merenovasi tempat ini? lucu sekali Din,” Meri menampilkan senyum sinisnya. Dina
pergi meninggalkan Meri untuk menghampiri gerombolan anak-anak itu dan membantu
mereka mencari buku yang dimaksud.
Matanya menangkap beberapa buku cerita yang berada
di rak yang paling tinggi, dengan cepat digapainya buku itu dan diserahkannya
pada anak-anak itu. Hati Dina berdesir melihat senyum bahagia yang tercipta di depannya.
Dengan langkah kaki ringan, ia berjalan menuju motor
pribadinya. Ia mantap dengan keputusannya, dikendarainya motor putih itu
membelah jalan raya yang padat.
Tidak sampai 30 menit, ia tiba disebuah gedung putih
yang terlihat ramai oleh orang-orang berpakaian dinas. Ia berjalan menuju meja
resepsionis dan menyampaikan maksud kedatangannya, namun hal itu diurungkannya
begitu melihat pria dengan wajah berwibawa melangkah melewatinya.
“Permisi Pak?” Dina berjalan cepat dan tersenyum
sopan. Pria itu menatap Dina bingung, beberapa pria dengan badan besar dan
berotot siap membawa Dina menjauh.
“Iya, ada apa?” Pria itu memberi isyarat pada para
ajudannya untuk membiarkan Dina berbicara. Dina membuka mulutnya dengan lirikan
takut pada pria-pria besar yang ada disamping kanannya.
“Saya dari Perpustakaan, ada hal yang ingin
bicarakan dengan bapak. Hal ini terkait masa depan warga kita juga pak,” Dina
menatap pria itu dengan pandangan memohon.
“Baiklah ikut saya keruangan,” Dina tersenyum
senang. Ia melangkah mengikuti pria yang sudah berumur itu melewati
lorong-lorong putih, Dina memandang sekelilingnya takjub. Ia dipersilahkan
masuk kesebuah ruangan yang besar, pria itu mempersilahkannya duduk di kursi
yang ada.
Dengan lancar, Dina menyampaikan maksud dan
tujuannya. Hal itu disambut dengan antusias oleh pria didepannya.
“Baiklah, saya setuju. Tapi saya punya satu syarat,”
“Apa itu Pak Hari?” Dina menatap cemas. Ia takut Pak
Hari meminta hal berat padanya, seperti menjadi tukang sapu jalanan selama
jabatannya sebagai Bupati berlangsung.
“Jadilah kepala kantor di perpustakaan,” Pak Hari
tersenyum, tidak menghiraukan tatapan terkejut Dina.
“Sungguh Pak?”
“Bagaimana? Setuju? Kalau kamu setuju, saya akan
mendukung usahamu memajukkan perpustakaan kita,”
“Baik Pak. Baik,” Dina mengangguk dengan senyum yang
merekah.
Biarlah dirinya tidak menyukai perpustakaan dan
buku, tapi hal itu jangan menjadi penghalang orang lain yang ingin menuntut
ilmu. Dina tersenyum bangga, benar kata Heni, hal baik selalu datang ditempat
yang tidak kita duga, ia ingin anak-anak serta orang lain yang kurang beruntung
diberi kesempatan untuk membaca buku dengan gratis.
Ini
kesempatannya untuk menjadi orang yang berguna, kesempatan yang mungkin tidak
didapatnya jika ia tidak dipindahkan.
(a Story by SALSA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar