Helai-helai
daun tergugur, jatuh pada tanah basah. Sore sunyi itu, diisi oleh gemerisik
kelebat pohon. Langkah kaki yang berbunyi di ujung jalan sana terdengar,
terdengar berirama dengan lagu yang ia nyanyikan. Rambutnya yang diikat ke atas
tinggi-tinggi, terhempas-hempas oleh angin. Kakinya nampak riang berjalan di
antara jalanan basah, menghindar pada genangan-genangan air.
Ditatapnya
langit. Cahaya merah telah merambat cepat-cepat pada langit, datang pelan-pelan
menyusur hari. Hari telah hendak senja. Gadis itu berjalan cepat-cepat menuju
rumah, takut seseorang akan marah jika ia pulang setelah senja. Dari kejauhan
sana, rumah biru itu terlihat.
“Kak,
Baiq pulang,” gadis itu berseru dari ambang pintu, membuka pintu sembari
melongok ke dalam rumah. Kosong.
Ragu-ragu
langkahnya masuk dan dapati seseorang tengah baringkan diri di sofa dekat tv.
Baiq tersenyum, kakaknya pasti terlewat letih karena telah bekerja seharian.
Jadi gadis kecil itu duduk di samping kakaknya, sembari menunggu senja
terlewat.
Saat
malam telah benar-benar datang, Baiq keluar dari rumah, membawa potong roti
yang terus ia gigiti. Ditatapnya bulan yang diangkat tinggi-tinggi di atas
sana. Para bintang belum juga terlihat, hanya bulan yang pelan-pelan datang
menuju titik tertingginya.
“Hm,”
Baiq menghela, ia duduk di tangga teras sembari tersenyum saja pada temaram
cahaya bulan. “Sedang purnama ya?”
Ia
ingat dulu, saat ia masih menjadi seorang anak panti. Tak ada keluarga, tak ada
siapapun. Dulu ia sendirian. Namun sosok pria itu datang, membawanya sebagai
seorang adik dari anak lelakinya. Baiq diasuh dengan kasih sayang, dengan semua
senyum untuknya.
Namun
sedikit demi sedikit, semua itu hilang. Orang yang begitu baik padanya,
perlahan-lahan telah hilang. Hanya tertinggal kakak laki-lakinya seorang. Gadis
itu kadang menangis menatap kakaknya, menatap karena kebaikan yang diberikan
kakaknya begitu besar. Hingga rasanya gadis itu tak berani membalaskannya,
karena berapapun ia membayar kebaikan itu, tak ada cukup kebaikan untuk
membalasnya.
Sejak
saat itu. Baiq berusaha keras untuk menjadikan dirinya seseorang yang terbaik
untuk kakaknya. Sebagai bintang yang mendampingi bulan di langit sana. Sebagai
seorang yang dapat membuat sebuah dukungan untuk satu-satunya keluarga yang
begitu ia banggakan.
Pada
sinar bulan di atas sana, temaram bintang mulai terlihat. Cahaya mereka telah
cukup untuk memerangi kelam malam. Cahaya bulan itu, tak sakitkan mata. Bulan
itu menangkannya, membuatnya teringat akan seluruh keluarganya. Dan ingatkan
pula kakaknya yang berusaha begitu keras untuk melewati begitu banyak
kegelapan, hingga cahayanya dapat terlihat begitu terang.
“Terima
kasih kak,” Baiq berujar sendiri berdiri dari duduknya. Kemudian ia menyungging
sebuah senyum untuk langit di atas sana. Pada bulan di atas sana ia berbicara.
“Cahaya
yang begitu indah,” Baiq terkikik sendiri mendengar kalimatnya, kemudian
kakinya berjalan selangkah-selangkah menuju pintu rumahnya.
Gadis itu tak sadar,
dari balik jendela sana. Kakaknya tersenyum sendiri, sembari menatap cahaya
bulan, yang berpendar bersama kelam.(a Story by Mauren)
(Ceritanya, ini cerpen zaman smp yang gak lolos lomba)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar