Minggu, 27 November 2016

Cahaya Malam


Helai-helai daun tergugur, jatuh pada tanah basah. Sore sunyi itu, diisi oleh gemerisik kelebat pohon. Langkah kaki yang berbunyi di ujung jalan sana terdengar, terdengar berirama dengan lagu yang ia nyanyikan. Rambutnya yang diikat ke atas tinggi-tinggi, terhempas-hempas oleh angin. Kakinya nampak riang berjalan di antara jalanan basah, menghindar pada genangan-genangan air.




Ditatapnya langit. Cahaya merah telah merambat cepat-cepat pada langit, datang pelan-pelan menyusur hari. Hari telah hendak senja. Gadis itu berjalan cepat-cepat menuju rumah, takut seseorang akan marah jika ia pulang setelah senja. Dari kejauhan sana, rumah biru itu terlihat.

“Kak, Baiq pulang,” gadis itu berseru dari ambang pintu, membuka pintu sembari melongok ke dalam rumah. Kosong.

Ragu-ragu langkahnya masuk dan dapati seseorang tengah baringkan diri di sofa dekat tv. Baiq tersenyum, kakaknya pasti terlewat letih karena telah bekerja seharian. Jadi gadis kecil itu duduk di samping kakaknya, sembari menunggu senja terlewat.

Saat malam telah benar-benar datang, Baiq keluar dari rumah, membawa potong roti yang terus ia gigiti. Ditatapnya bulan yang diangkat tinggi-tinggi di atas sana. Para bintang belum juga terlihat, hanya bulan yang pelan-pelan datang menuju titik tertingginya.

“Hm,” Baiq menghela, ia duduk di tangga teras sembari tersenyum saja pada temaram cahaya bulan. “Sedang purnama ya?”

Ia ingat dulu, saat ia masih menjadi seorang anak panti. Tak ada keluarga, tak ada siapapun. Dulu ia sendirian. Namun sosok pria itu datang, membawanya sebagai seorang adik dari anak lelakinya. Baiq diasuh dengan kasih sayang, dengan semua senyum untuknya.

Namun sedikit demi sedikit, semua itu hilang. Orang yang begitu baik padanya, perlahan-lahan telah hilang. Hanya tertinggal kakak laki-lakinya seorang. Gadis itu kadang menangis menatap kakaknya, menatap karena kebaikan yang diberikan kakaknya begitu besar. Hingga rasanya gadis itu tak berani membalaskannya, karena berapapun ia membayar kebaikan itu, tak ada cukup kebaikan untuk membalasnya.

Sejak saat itu. Baiq berusaha keras untuk menjadikan dirinya seseorang yang terbaik untuk kakaknya. Sebagai bintang yang mendampingi bulan di langit sana. Sebagai seorang yang dapat membuat sebuah dukungan untuk satu-satunya keluarga yang begitu ia banggakan.

Pada sinar bulan di atas sana, temaram bintang mulai terlihat. Cahaya mereka telah cukup untuk memerangi kelam malam. Cahaya bulan itu, tak sakitkan mata. Bulan itu menangkannya, membuatnya teringat akan seluruh keluarganya. Dan ingatkan pula kakaknya yang berusaha begitu keras untuk melewati begitu banyak kegelapan, hingga cahayanya dapat terlihat begitu terang.

“Terima kasih kak,” Baiq berujar sendiri berdiri dari duduknya. Kemudian ia menyungging sebuah senyum untuk langit di atas sana. Pada bulan di atas sana ia berbicara.

“Cahaya yang begitu indah,” Baiq terkikik sendiri mendengar kalimatnya, kemudian kakinya berjalan selangkah-selangkah menuju pintu rumahnya.
Gadis itu tak sadar, dari balik jendela sana. Kakaknya tersenyum sendiri, sembari menatap cahaya bulan, yang berpendar bersama kelam.

(a Story by Mauren)

(Ceritanya, ini cerpen zaman smp yang gak lolos lomba)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar