Minggu, 27 November 2016

a Tree

Karena dulu, jika seseorang mendelikkan mata dan menendang sebuah pohon, maka pohon itu akan menjerit, manusia lain akan marah. Seseorang itu tiadalah bisa melawankan diri, bahwa ia bersalah jika menyakiti alam.





Sekarang, seratus orang menendangkan kaki, meludah, dan mengotori tiap jengkal alam. Seolah senang melakukannya.

Aku bisa mendengar bisik alam yang kesakitan. Aku bisa mendengar seseorang tertawa dalam seluruh kebisingan. Aku bisa dengar, bahwa sebentar lagi, alam akan gila karena kesakitan. Manusia akan gila dalam ketamakan.

Kukatakan,"Bu, esok alam akan meradang."

Ibuku mengerutkan sebelah alisnya, seolah tiada mengerti, terbingung-bingungkan oleh bicaraku yang sungguh begitu tiba-tiba dan tiada berarti.

"Kenapa alam meradang, Nak?"

Aku berkata, alam akan kehilangan kesabaran, dan mereka akan balas menendang kita.

Ibu tertawa. Aku berkata lucu sergahnya, sehingga aku menjadi ikut tertawa juga, padahal tidak tahu mengapa hal ini begitu lucu.

"Nah, selimuti tubuhmu."

"Tapi, Bu, nanti kita tidak sempat menyelamatkan diri, aku sudah dikasih peringatan."

"Tuh, kamu berumur sepuluh tahun dan kebanyakan baca buku novel. Begini kan, jadinya."

Aku menggeleng, dan ibu ikut menggeleng. "Tidur, besok kita ke teater, oke?"

-

Kami tidak ke teater.

Tidak ada teater.

Saat itu, ibuku menjerit dan seluruh manusia di kota ikut menjerit. Aku bisa melihat amarah itu. Seluruh gedung-gedung yang runtuh, meledak, dan terhambur ke tanah. Disusulkan dinding air tinggi, sehingga apa yang terlihat di depan tak terlihat kembali. Tanah di bawah kakiku menghentak-hentak, bergetar oleh pasang-surut amarah bumi.

Aku terdiam, kemudian bersujud. "Aku minta maaf."

Aku mendengar ibuku menjeritkan namaku, sebelum tubuhku berputar bersama air. Dan semuanya berakhir dalam kehampaan, aku menyatu bersama alam.

(a stroy by Mauren)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar